oleh: Romelio, Ketua Biro PPH DPC PERMAHI Padang


Oleh: Heru Setiawan | Editor: Muhammad Arifo

Hukum sebagai kaidah, lebih mirip suatu etika yang menuntut agar norma-normanya harus dapat di benarkan oleh akal sehat yang dapat di uji dan di tes oleh kriteria moral. Pengelolaan hukum harus melibatkan juga rasionalitas nilai-nilai. (Max webber)

Sebagai produk yang akan mengatur tata kehidupan, hukum seharusnya merupakan wujud suara nurani tentang apa yang baik dan yang tidak baik. Hukum dibuat dengan harapan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat ke arah yang lebih baik. Moralitas dalam hukum diperlukan agar hukum yang dibuat bisa berjalan dengan baik. Moralitas yang dimaksud bukan hanya kandungan moral dalam hukumnya, tetapi juga moral dari penegak dan pembuat dari hukum itu sendiri. Masalah moral inilah yang menjadi masalah besar di negeri ini.

Saat ini, banyak yang mengatakan kalau hukum tidak bisa disandingkan dengan moralitas yang dikarenakan hukum harus bersifat tegas tanpa memerhatikan kondisi apapun. Inilah yang menjadi perdebatan yang hangat bagi penulis untuk mengkaji seberapa besar pengaruh moral terhadap hukum itu sendiri.

Sesuai dengan tujuan awal, hukum itu dibuat untuk mengatur kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, apa yang dirumuskan dalam hukum itu harus dibuat sesuai kebutuhan masyarakat itu sendiri. Sedangkan moralitas dibutuhkan oleh para penegak hukum dalam menegakan hukum itu agar tercapai tujuan hukum yang sebenarnya.

Moral dan hukum diibaratkan seperti dua sisi mata uang yang saling berlawanan dan memiliki kepentingan berbeda-beda. Meskipun begitu, moral dan hukum itu tidak bisa dipisahkan, mereka akan saling terkait satu sama lain. Keterkaitan moral dan hukum yang membuat keduanya bisa berjalan dengan baik. Penegakan hukum yang baik akan tergantung dari nilai moralitas yang ada di dalam hukum itu sendiri maupun moral yang ada pada para penegak hukum itu sendiri.

Di negeri ini banyak orang yang memisahkan antara moral dan hukum. Sehingga orang yang berhukum banyak yang tidak bermoral. Hukum yang tidak menggunakan moral tidak akan bisa untuk mencapai tujuan dari hukum itu sendiri. Keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum merupakan tujuan yang hendak dicapai dari hukum itu sendiri. Meskipun untuk mewujudkannya tergolong susah, karena tidak ada keadilan yang bisa diterima semua pihak. Tetapi setidaknya hukum itu sudah mendekati tujuan yang dicita-citakan.

Untuk mewujudkan tujuan hukum diatas maka diperlukan penegakan hukum yang bermoral. Pada peraturan perundang-undangan yang dilahirkan banyak yang mengandung misi tersembunyi dari sebagian pembuat undang-undang. Hukum yang tujuan pembuatannya salah maka akan melahirkan aturan yang salah. Para elit legislatif kebanyakan tidak memperhatikan aspek etika ataupun moral didalam rumusan aturan hukum yang dibuatnya itu. Mereka hanya terobsesi untuk memenuhi kepentingan kelompok saja.

Maka dari itu, tak heran jika banyak peraturan undang – undang yang diajukan uji materilnya. Baik itu melalui Mahkamah Agung ataupun Mahkamah Konstitusi. Karena banyak aturan yang di buat tidak sesuai dengan apa yang seharusnya. Hanya mementingkan kepentingan elit di parlemen saja tidak memperhatikan rakyatnya. Hal ini dikarenakan banyaknya kepentingan yang beradu dalam proses pembuatan hukum itu.

Bukan hanya itu, dari segi penegak hukumpun banyak yang dengan mudah mempermainkan hukum itu sendiri. Bahkan para penegak hukum bertindak lebih agresif dengan melakukan pelanggaran hukum karena terdapat celah bagi mereka untuk melakukan pelanggaran itu. Kita bisa melihat kepada Akil Mohctar, seorang ketua Mahkamah Konstitusi yang memperjual-belikan putusannya. Dia ditangkap oleh KPK karena kasus penyuapan dalam perkara sengketa pemilu kabupaten lebak. Ini menjadi gambaran penegakan hukum di Indonesia yang masih memiliki banyak kekurangan di berbagai sisi.

Penegak hukum yang tidak menggunakan moral untuk menegakan hukum akan menyebabkan ketidakadilan terjadi dimana-mana. Karena mereka hanya bertindak sesuai hukum yang tertulis dan dengan keinginannya saja tanpa memperhatikan aspek moral dan keadilan pada hukum yang ia tetapkan itu. Padahal moral lebih berperan penting dalam suatu penegakan hukum.

Hal ini mungkin disebabkan karena wacana moral yang dilepaskan dari relung hukum. Tradisi hukum yang kita jalankan pada hari ini lebih banyak berurusan dengan bahan hukum dan cara menggunakannya yang secara teknikal. Para penegak hukum menjalan hukum sesuai apa yang telah ditetapkan oleh undang-undang tanpa memperhatikan aspek lainnya. Padahal salah satu tujuan hukum itu untuk mencapai keadilan. Diibaratkan keadilan adalah cita, sedangkan hukum adalah jalan untuk mencapainya. Meskipun hukum itu jalan untuk mencapai cita, tetapi hukum bukannya tanpa nilai-nilai karena ia merupakan nilai yang akan mengatur kehidupan masyarakat untuk mencapai cita.

Moral yang baik bagi penegak hukum sangat dibutuhkan untuk menegakan hukum itu sendiri. Dalam pembuatan hukum itu harus diperhatikan berbagai macam aspek kehidupan, bukan hanya teknikal semata. Produk hukum yang baik harus memiliki moral yang baik. Karena itu yang diperlukan agar produk hukum itu tidak lagi sarat kepentingan. Keperluan hukum akan moralitas di negeri ini sudah sangat mendesak karena banyak produk hukum yang tidak memberikan keadilan kepada para pencari keadilan. Hukum kebanyakan untuk mengekang kehidupan bukan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat.

Untuk menjalankan due process  of law atau penegakan hukum yang baik, maka dalam peraturan ataupun bagi para penegak hukum itu harus memiliki moral yang tinggi agar tujuan utama dari hukum itu bisa diwujudkan. Memang tidak mudah untuk mewujudkan hukum yang memiliki moralitas. Diperlukan kerjasama dan usaha yang sungguh-sungguh dari para penegak hukum dan pembuat hukum itu sendiri untuk mewujudkan penegakan hukum yang bermoral dengan tidak mengenyampingkan peran serta dari masyarakat agar hukum yang bermoral bisa ditegakkan di negeri ini.

Oleh: Heru Setiawan
 
          Hukum merupakan salah satu social enginering dari masyarat dalam kehidupan. Peranan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah penting dan  strategis. Oleh sebab itu setiap produk hukum yang dilahirkan atau yang akan dibuat haruslah responsif atau sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat.

           Di Indonesia lembaga yang berwenang membuat hukum atau undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Peranan yang sangat besar diberikan oleh Undang-undang Dasar 1945 untuk membuat undang-undang. Akibat kewenangan yang sangat besar inilah bisa menyebabkan suat produk hukum yang dilahirkan bersifat ortodoks atau hukum yang dibuat sesuai dengan kebutuhan kelompok tertentu.

         Banyaknya peraturan perundang-undangan yang dibuat dan bermuara ke Mahkamah Konstitusi. Menjadi gambaran bahwa banyaknya produk hukum yang di hasilkan oleh DPR memiliki banyak celah atau tidak responsif. Hanya mementingkan kuantitas semata bukannya kualitas dari suatu aturan perundang-undangan.  Periode sebelumnya DPR hanya bisa menyelesaikan 126 undang-undang.

       Dari sekian banyak undang-undang yang dibuat oleh DPR tidak sedikit pula undang-undang yang telah dijadikan undang-undang tersebut bermuara ke mahkamah konstitusi. Bahkan belum beberapa hari di sahkan undang-undang itu langsung dilakukan Judicial review . seperti halnya undang-undang no. 14 tahun 2014 tentang MD3 yang langsung di uji materil ke Mahkamah Konstitusi setelah beberapa hari di sahkan menjadi undang-undang.

         Undang-undang diatas bukanlah satu-satunya undang-undang yang dimintakan judicial review ke Mahkamah Konstitusi setelah di sahkan. Undang-undang terakhir yang dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi adalah undang-undang pemilihan kepala daerah yang telah di cabut dengan perpu oleh presiden. Tetapi permohonan judicial review tentang undang-undang tersebut masih terdaftar di Mahkamah Konstitusi meskipun sudah di sarankan untuk mencabut permohonannya.

            Dari data yang dihimpun dari website Mahkamah Konstitusi ada sekitar 124 perkara
pengujian undang-undang yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi selama tahun 2014. Hal ini menandakan banyaknya undang-undang yang dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan di masyarakat, karena banyak yang dilakukan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi.

             Banyaknya produk undang-undang yang dibuat tidak sesuai dengan kebutuhan menyebabkan terjadinya pertentangan yang akhirnya lagi-lagi bermuara di Mahkamah Konstitusi yang memutuskan untuk mencabut ataupun membatalkan produk hukum yang dibuat oleh DPR.

          Harapan akan lahirnya produk hukum yang responsif atau sesuai dengan kebutuhan di masyarakat masih belum menjadi kenyataan. Meskipun masih ada juga  beberapa produk hukum yang bersifat responsif. Tetapi pada kenyataan produk hukum yang dilahirkan oleh lembaga legislasi  lebih banyak bersifat ortodox atau hanya mementingkan kepentingan golongan semata.
            Masalah banyaknya produk hukum masih belum bersifat responsif mungkin diakibatkan masih banyaknya conflic of interest yang masih terjadi antara para anggota dewan. Memang tidak bisa dipungkiri para anggota dewan yang di DPR membawa banyak kepentingan bukan hanya membawa kepentingan rakyat semata tetapi juga membawa kepentingan partai.

       Banyaknya kepentingan yang di bawa oleh para anggota dewan inilah yang menyebabkan susahnya terbentuk suatu produk hukum yang bersifat responsif atau sesuai dengan kebutuhan. Saling beradunya banyak kepentingang yang menyebabkan pekerjaan mereka yang membuat undang-undang menjadi tidak bisa berjalan efektif dan sesuai dengan harapan kita semua.Bertemunya banyak kepentingan yang saling berbenturan dalam suatu lembaga. Maka akan menyebabkan berbagai konflik kepentingan yang terjadi.

             Masalah inilah yang terus terjadi pada lembaga legislasi di Indonesia masih banyaknya undang-undang yang belum bersifat responsif. Hal inilah yang akan menjadi pekerjaan bagi para anggota dewan yang baru untuk menghasilkan undang-undang yang bersifat responsif sesuai dengan kebutuhan. Tidak ada lagi produk hukum yang tidak sesuai dengan kebutuhan dari masyarakat indonesia sendiri.

     Harapan kepada para aggota dewan periode 2014/2019 agar bisa menghasilkan produk hukum yang lebih bersifat responsif. Walaupun tidak akan mungkin semua produk hukum yang dihasilkan bersifat responsif. Tetapi setidaknya lebih banyak produk hukum yang dilahirkan bersifat responsif. Meskipun sekarang sama-sama kita lihat banyaknya terjadi konflik di dalam tubuh DPR yang saling berseberangan.

           Semoga saja ini kondisi akan cepat berakhir dan konflik antar kepentingan antara elit di senayan bisa berakhir. Lebih fokus lagi untuk menyelesaikan amanahnya di DPR sesuai dengan fungsi legislasi yang menghasilkan produk hukum yang bersifat responsif dengan tidak lagi mementingkan kepentingan golongan. Karena kalau sudah ada di DPR jangan lagi ada kepentingan lain selain kepentingan untuk negara dan bangsa ini.

Oleh : Rizky Widya Utami, anggota LITBANG DPC PERMAHI Padang