Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Mentri dinilai tidak sejalan dengan nilai kearifan lokal masyarakat Sumbar dan tak sejalan dengan falsafah Minangkabau  yakni Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah. Kalau di Minang itu laki-laki batuduang jo bakain saruang, kalau padusi itu bakaruduang jo babaju kuruang. Itu sudah sejak dulu nenek moyang seperti itu, jadi kalau sekiranya sekarang kerudung dan baju kurung disuruh dibuka, itu memang agak tidak etis di wilayah Sumatera Barat ini. 

Menurut pendapat Narasumber Feri Amsari,S.H.,M.H.,LL.M selaku dosen di Fakultas Hukum Universitas Andalas dan direktur Pusako UNAND : Ada beberapa perspektif melihat kasus mengenai seragam sekolah si Sumbar. Dari sudut pandang orang hukum mengenai beberapa filosofi”/nilai” tertentu. SKB ini produk hukum tidak jelas. Era Orba sering digunakan bagi pemerintah saat itu. 

Produk seperti ini secara perundang undangan jelas janggal, maka timbul perdebatan, bagaimana SKB ini berbeda dengan Perda, 

Jawabannya sederhana : berbasis UU No 12 tahun 2011

Memberi surat peringatan pada kepsek

  Melihat kasus di Sumbar, pihak sekolah sudah minta maaf dan mencabut yang dianggap banyak orang sebagai tindakan yang salah. Namun direspon berlebihan oleh pemerintah dengan mengeluarkan SKB 3 Menteri yang tidak ada panutannya, lebih dilihat sangat politis, sehingga memberi kesan bahwa Sumbar itu konsevatif dan tidak toleran menjalankan agama.

Saya lihat kasus yang sedang terjadi sekarang lebih banyak muatan politisnya untuk member stigma kepada lawan politik yang bernama Sumbar.

Diambil langkah yang berlebihan dari kasus di Sumbar.

Jelas pihak sekolah salah karna memaksakan keyakinan.

Secara konstitusional hak itu dilindungi, “orang berhak menjalankan apa yang diyakini menurut agamanya” (Pasal 28, Pasal 29 UUD)

SKB 3 Menteri ini pada titik tertentu dapat diperdebatkan karena ada ruang keyakinan dalam agama islam

 

SKB mencoba mengatur ruang lingkup yang dikatakan bagian internal dari kementerian.

Problematikanya : SKB ini mengatur secara luas, tidak hanya di Sumbar tapi seluruh Indonesia.

Maka jika ada pertentangan, secara hukum menurut UU, SKB kehilangan nilai / norma.

Permasalahan yang timbul di Sumbar itu bisa diselesaikan di tingkat kebijakan, karena ada guru / kepala sekolah yang menetapkan aturan wajib berpakaian muslim untuk seluruh siswa di sekolah. Tentu saja kebijakan yang disampaikan kepala sekolah tidak sesuai dengan perda / norma yang ada pada peraturan perundangan.

UUD dan UU yang lainnya menghormati hak itu. Dari pejabat tata usaha di sekolah bermasalah mestinya diselesaikan dengan langkah-langkah administrasi pula. 

Mulai dengan :

Menegur Kepala Sekolah untuk mendidik anak didik menjalankan agama. Salah satunya yang dianjurkan adalah berpakaian muslim dengan beberapa kriteria.

Jangan-jangan SKB ini membuat penekanan bahwa masyarakat yang menjalankan nilai nilai agamanya dianggap memiliki kebebasan untuk menolak apa yang dianjurkan ustad.

SKB ini tidak hati-hati menilai masyarakat tertentu dengan apa apa yang mereka yakini.

Boleh saja melindungi warga Negara menjalankan ibadah warga minoritas, tapi jangan juga mempertimbangkan apa yang diyakini mayoritas.

Di titik itulah pemerintah harus berhati-hati merespon.

SKB hanya menambah masalah, menurut saya tanpa SKB ini masalah sudah selesai, jadi kenapa SKB ini harus dikeluarkan, itu yang menjadi tanda Tanya menurut saya.

Saya lihat pemerintah rezim sekarang cenderung menggunakan langkah-langkah yang otoriter lalu menekan lawan-lawan politiknya di titik tertentu.


Menurut Narasumber Buya H. Gusrizal Gazahar, Lc., M,Ag selaku Ketua MUI Sumatera Barat berpendat bahwa :

Dari awal masalah ini seperti direncanakan. Masalah yang seharusnya selesai dalam internal sekolah, ternyata akhirnya melebar kemana-mana dengan kiat lahirnya SKB 3 Mneteri.

Fakta di lapangan, saat investigasi dinas pendidikan sedang berjalan, Mendikbud sudah melahirkan komentar melalui video dan disebar kemana-mana.

Saya konfirmasi langsung pada dinas pendidikan apakah masalah ini sudah clear, investigasi sudah selesai, jawabnya : “ sedang berjalan buya”

Kesimpulan begitu cepat di Jakarta, sedangkan investigasi sedang berjalan.

Besoknya saya ke SMKN  2 Padang bertemu dengan pihak sekolah, kebetulan baru saja bertemu dengan pihak orangtua, ini berarti proses sedang berjalan.

Data yang disampaikan ke pusat itu tidak valid tapi di telan mentah-mentah oleh pihak pusat.

Dipaksa 40 orang untuk berjilbab, sedangkan perempuan faktanya hanya 20 lebih.

Apakah ini peristiwa begitu saja atau jangan-jangan diadakan untuk diangkat.

Aturan yang ada di Sumbar, perkara hijab dimulai pertama kali akhir 2001 mulai pada Kabupaten Solok. ( Surat Edaran Bupati) tentang berbusana islami, Bupatinya pak Gamawan Fauzi.

Tahun 2002, lahir Perda 1 tentang berbusana Islami lahir di Kabupaten Solok. ( Perda No 6 Tahun 2002 Kabupaten Solok)

Dari sisi produk hukum, lahir edaran bupati Solok, lalu Perda Nomor 6 tahun 2002.

Tujuan Perda itu adalah Penguatan dari implementasi kearifan local di Sumbar.

Pasal 14 : Perda itu hanya mengikat orang yang beragama islam.

Instruksi Wali Kota : Untuk siapa pakaian seragam yang sesuai ajaran islam, ya untuk yang   beragama islam

Ketika turun ke SMKN 2, aturan di sekolah itu tidak ada aturan yang mewajibkan berjilbab, Cuma pada hari Jum’at diwajibkan berbusana muslim, itu yang ada.

Dituduhkan intoleran kepada Sumbar. Data yang dituduhkan itu tidak benar, Sumbar sangat toleransi, walaupun mayoritas Sumbar itu muslim.

SKB itu paradoks, bertentangan dengan UU bahkan dengan Pancasila. Ada UU yang ditabraknya : UU Tentang Pendidikan Pasal 31, semestinya apapun turunan dari itu mengacu kesana, yaitu membentuk kepribadian yang berakhlak mulia, beriman, bertakwa. Rujukannya agama.

SKB itu dibawa semangatnya liberalisme dan sekularisme.

Diberbagai sekolah pun tidak diberi kebebasan bagi umat islam untuk berjilbab, disepanjang Sumbar, sekolah-sekolah yang dikelola umat beragama lain juga tidak diizinkan wanita muslimah untuk berjilbab, toh umat islam tidak rebut selama ini.


 

Penulis : Afwan Febrizal


DPC Permahi Padang mengecam tindakan Rektor Universitas Lancang Kuning (Unilak) yang memberhentikan 3 mahasiswa Unilak. Ketiga Mahasiswa tersebut adalah adalah Cep Permana Galih, George Tirta Prasetyo, dan Cornelius Laia. DO terhadap tiga mahasiswa Unilak tertuang dalam SK Rektor Nomor 28/Unilak/Km/2021, 29/Unilak/Km/2021, dan 030/Unilak/Km/2021. SK tersebut menyatakan ketiga mahasiswa dikeluarkan karena telah melanggar Kode Etik Mahasiswa Universitas Lancang Kuning.


Surat Keputusan Rektor Universitas Lancang Kuning Nomor: 028/Unilak/Km/2021 tentang Pemberhentian Sebagai Mahasiswa Universitas Lancang Kuning, tertanggal 18 Februari 2021, dalam diktum kesatu yang menyatakan “Mahasiswa Atas Nama George Tirta Prasetyo, NIM: 1774201339, Prodi Ilmu Hukum, diberhentikan sebagai Mahasiswa Universitas Lancang Kuning” adalah merupakan tindakan sewenang-wenang Rektor Universitas Lancang Kuning Dr. Junaidi, S.S., M.Hum. Tindakan Rektor Universitas Lancang Kuning ialah sepihak karena tidak dilandasai pada dasar hukum yang kuat dan alasan hukum yang tepat.


Permasalahan DO 3 Mahasiswa Unilak tersebut berawal dari pembuangan skripsi dan penebangan pohon secara illegal yang dilakukan oleh pihak Kampus Unilak. Aksi dan audiensi telah dilakukan, namun tidak ada penjelasan yang melandasi tindakan Rektor tersebut. Ditambah lagi kedatangan pihak kepolisian Polresta Pekanbaru, Riau pada tanggal 18 Februari 2021 di wilayah kampus Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, yang berjumlah kurang lebih 50 orang personel Polri atau 2 truk bersenjata lengkap dan mengamankan beberapa orang mahasiswa yang sedang menyampaikan aspirasi, salah satunya anggota PERMAHI atas nama George Tirta Prasetyo (NIM. 1774201339), ialah bentuk tindakan inkonstitusional dan diskriminatif Polri terhadap hak konstitusional warga Negara


Mohammad Yogi, anggota DPC PERMAHI Padang, menilai bahwa Polresta Pekanbaru tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan tepat dalam membawa senjata lengkap di lingkungan akademik. Lagi pula hingga saat ini, data Kemendikbud menunjukkan bahwa George Tirta Prasetyo adalah mahasiswa ilmu hukum berstatus aktif di Universitas Lancang Kuning. Bahkan tidak pernah dijatuhi sanksi akademik maupun kriminil yang telah berkekuatan hukum tetap. 


Pada Tahun 2020 terdapat setidaknya dua kasus serupa, yakni sanksi drop out terhadap empat orang mahasiswa Unkhair terkait aksi isu Papua dan drop out terhadap tiga orang mahasiswa Unas karena kritik terkait UKT kampus. Ketiga peristiwa ini memiliki pola yang serupa yakni sanksi drop out digunakan secara sewenang-wenang oleh kampus sebagai bentuk penghukuman atas ekspresi yang dikemukakan oleh mahasiswa. Sebagai institusi yang seharusnya menjadi ruang aman bagi segala bentuk pemikiran dan pendapat, tindakan ini justru bertentangan dengan marwah kampus itu sendiri.


Aksi protes merupakan bentuk kebebasan berpendapat sehingga pengekangan ataupun tindakan represif, intimidatif, ancaman kekerasan, kekerasan fisik dan psikis merupakan bentuk pelanggaran HAM. Adapun hak atas kebebasan berpendapat merupakan bagian dari HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Pasal 23 Ayat (2) UU 29/1999 tentang HAM.


Kebebasan mengemukakan pendapat sendiri tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang". Hak Kebebasan Berpendapat juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Pada pada Pasal 1 angka 1 menjelaskan: “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Kemudian Pasal 1 angka 2, menyebutkan: “Di muka umum adalah di hadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang”. Sehingga berdasarkan bunyi rumusan tersebut dapat dikatakan, walaupun kebebasan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara termasuk mengkritik pemerintah, namun hal harus dapat dipertanggung jawabkan sesuai aturan hukum yang berlaku.


Selain itu, perlu dilihat bahwa hak atas pendidikan merupakan hak setiap orang yang harus dipenuhi oleh Negara melalui Institusi Pendidikan sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 13 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Sehingga, dengan upaya represi melalui sanksi drop out, kampus sebagai institusi pendidikan justru mengekang kebebasan berpikir serta ruang gerak mahasiswanya dalam menyikapi permasalahan sosio-politik di Indonesia. Hal ini juga menunjukkan kampus sebagai “wujud negara” melalui antikritiknya yang merespons evaluasi atau kritik dengan ancaman dan sanksi drop out.