Pemberangusan Kebebasan Berpendapat, 3 Mahasiswa Unilak di DO

 

Penulis : Afwan Febrizal


DPC Permahi Padang mengecam tindakan Rektor Universitas Lancang Kuning (Unilak) yang memberhentikan 3 mahasiswa Unilak. Ketiga Mahasiswa tersebut adalah adalah Cep Permana Galih, George Tirta Prasetyo, dan Cornelius Laia. DO terhadap tiga mahasiswa Unilak tertuang dalam SK Rektor Nomor 28/Unilak/Km/2021, 29/Unilak/Km/2021, dan 030/Unilak/Km/2021. SK tersebut menyatakan ketiga mahasiswa dikeluarkan karena telah melanggar Kode Etik Mahasiswa Universitas Lancang Kuning.


Surat Keputusan Rektor Universitas Lancang Kuning Nomor: 028/Unilak/Km/2021 tentang Pemberhentian Sebagai Mahasiswa Universitas Lancang Kuning, tertanggal 18 Februari 2021, dalam diktum kesatu yang menyatakan “Mahasiswa Atas Nama George Tirta Prasetyo, NIM: 1774201339, Prodi Ilmu Hukum, diberhentikan sebagai Mahasiswa Universitas Lancang Kuning” adalah merupakan tindakan sewenang-wenang Rektor Universitas Lancang Kuning Dr. Junaidi, S.S., M.Hum. Tindakan Rektor Universitas Lancang Kuning ialah sepihak karena tidak dilandasai pada dasar hukum yang kuat dan alasan hukum yang tepat.


Permasalahan DO 3 Mahasiswa Unilak tersebut berawal dari pembuangan skripsi dan penebangan pohon secara illegal yang dilakukan oleh pihak Kampus Unilak. Aksi dan audiensi telah dilakukan, namun tidak ada penjelasan yang melandasi tindakan Rektor tersebut. Ditambah lagi kedatangan pihak kepolisian Polresta Pekanbaru, Riau pada tanggal 18 Februari 2021 di wilayah kampus Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, yang berjumlah kurang lebih 50 orang personel Polri atau 2 truk bersenjata lengkap dan mengamankan beberapa orang mahasiswa yang sedang menyampaikan aspirasi, salah satunya anggota PERMAHI atas nama George Tirta Prasetyo (NIM. 1774201339), ialah bentuk tindakan inkonstitusional dan diskriminatif Polri terhadap hak konstitusional warga Negara


Mohammad Yogi, anggota DPC PERMAHI Padang, menilai bahwa Polresta Pekanbaru tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan tepat dalam membawa senjata lengkap di lingkungan akademik. Lagi pula hingga saat ini, data Kemendikbud menunjukkan bahwa George Tirta Prasetyo adalah mahasiswa ilmu hukum berstatus aktif di Universitas Lancang Kuning. Bahkan tidak pernah dijatuhi sanksi akademik maupun kriminil yang telah berkekuatan hukum tetap. 


Pada Tahun 2020 terdapat setidaknya dua kasus serupa, yakni sanksi drop out terhadap empat orang mahasiswa Unkhair terkait aksi isu Papua dan drop out terhadap tiga orang mahasiswa Unas karena kritik terkait UKT kampus. Ketiga peristiwa ini memiliki pola yang serupa yakni sanksi drop out digunakan secara sewenang-wenang oleh kampus sebagai bentuk penghukuman atas ekspresi yang dikemukakan oleh mahasiswa. Sebagai institusi yang seharusnya menjadi ruang aman bagi segala bentuk pemikiran dan pendapat, tindakan ini justru bertentangan dengan marwah kampus itu sendiri.


Aksi protes merupakan bentuk kebebasan berpendapat sehingga pengekangan ataupun tindakan represif, intimidatif, ancaman kekerasan, kekerasan fisik dan psikis merupakan bentuk pelanggaran HAM. Adapun hak atas kebebasan berpendapat merupakan bagian dari HAM sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada pendapat tertentu tanpa mendapatkan gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide/gagasan melalui media apa saja tanpa ada batasan. Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan Pasal 23 Ayat (2) UU 29/1999 tentang HAM.


Kebebasan mengemukakan pendapat sendiri tercantum dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi : “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang". Hak Kebebasan Berpendapat juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Pada pada Pasal 1 angka 1 menjelaskan: “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Kemudian Pasal 1 angka 2, menyebutkan: “Di muka umum adalah di hadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan atau dilihat setiap orang”. Sehingga berdasarkan bunyi rumusan tersebut dapat dikatakan, walaupun kebebasan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara termasuk mengkritik pemerintah, namun hal harus dapat dipertanggung jawabkan sesuai aturan hukum yang berlaku.


Selain itu, perlu dilihat bahwa hak atas pendidikan merupakan hak setiap orang yang harus dipenuhi oleh Negara melalui Institusi Pendidikan sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 13 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Sehingga, dengan upaya represi melalui sanksi drop out, kampus sebagai institusi pendidikan justru mengekang kebebasan berpikir serta ruang gerak mahasiswanya dalam menyikapi permasalahan sosio-politik di Indonesia. Hal ini juga menunjukkan kampus sebagai “wujud negara” melalui antikritiknya yang merespons evaluasi atau kritik dengan ancaman dan sanksi drop out.


0 komentar:

Posting Komentar