PARADOKS DAN PELANGGARAN ASAS-ASAS PERADILAN

Oleh Romelio

         Sebagai refleksi dari penganutan konsep trias politika oleh ketatanegaraan Indonesia, sistem hukum Indonesia telah membagi cabang kekuasaan ke dalam 3 cabang, yakni eksekutif, legislative, dan yudikatif. Eksekutif merupakan cabang kekuasaan yang kewenangannya bersifat eksekutorial, dan merupakan wujud nyata dari eksistensi akan berdaulatnya suatu pemerintahan. Legislatif adalah cabang kekuasaan yang memegang kewenangan legislasi atau kewenangan dalam hal pembentukkan undang-undang, yang bahwasannya dalam hal ini, undang-undang hadir sebagai produk politik hukum yang menyokong aspirasi rakyat dan keinginan serta visi misi pemerintah. Yudikatif adalah cabang kekuasaan yang memiliki kekuatan dalam aspek peradilan. Kewenangan mengadili, memutus suatu perkara hukum, dan sebagai wadah dalam proses menemukan keadilan serta kepastian hukum secara nyata, merupakan orientasi dari kelembagaan yudikatif.

Kekuasaan yudikatif di Indonesia disupremasikan ke dalam bentuk dualisme puncak kekuasaan kehakiman. Sebagaimana yang tertera dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahwasannya kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Dua cabang kekuasaan kehakiman ini memiliki hak judicial review atau hak menguji Undang-undang. Perbedaan kompetensi antara dua puncak kekuasaan kehakiman ini dalam hal judicial review adalah bahwa Mahkamah Agung (MA) berkompetensi dalam pengujian peraturan perundang-undangan di bawah urutan hierarkis undang-undang. Sementara hak menguji undang-undang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi (MK) adalah bahwa MK berwenang melakukan pengujian peraturan-perundang undangan yang berada di bawah Undang-Undang Dasar secara hierarkis.

Selain dari judicial review, MA dan MK memiliki kewenangan-kewenangan lain. MA memiliki kewenangan mengadili perkara hukum pada tingkat kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). MA merupakan atap dari pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan militer dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang menangani perkara pada tingkat pertama dan banding. Sementara, MK memiliki kewenangan dalam hal-hal yang bersifat konstitusional. Sebagaimana yang tertera pada pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yakni selain pengujuan UU terhadap UUD, MK memiliki kewenangan mengadili sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan mengadili perselisihan hasil pemilihan umum.

Sebagai lembaga yang bergerak dalam lingkup peradilan, MA dan MK dituntut untuk memutus perkara yang seadil-adilnya. Dengan konsep keadilan yang ukurannya akan selalu relatif, maka tugas dari lembaga kekuasaan kehakiman ini memang sangat berat dan akan pasti ada kritik serta ketidakpuasan terhadap setiap putusan yang dibuat MA dan MK oleh suatu pihak secara partikular, khususnya pihak yang berkaitan langsung dengan putusan tersebut. Sebagai acuan untuk mencapai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, maka peradilan memegang asas-asas yang prinsipil dalam lingkup peradilan serta proses beracara.

         Ada banyak asas sebagai prinsip dalam lingkup peradilan. Asas yang menjadi titik sorot di sini adalah asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan serta tujuan hukum yang sekaligus merupakan asas hukum, yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, khususnya dalam pemutusan perkara oleh hakim. Asas-asas ini dapat kita lihat dalam praktik kekuasaan kehakiman di Indonesia selalu bertentangan dengan kenyataan yang ada. Lembaga kekuasaan kehakiman yang dinilai tidak kompeten, dalam penjalanan tugasnya selalu menimbulkan keadaan yang kontradiktif dengan asas-asas tersebut. Seperti pelaksanaan proses peradilan yang begitu lama, putusan yang dianggap tidak adil, kekeliruan dalam pengetikkan putusan, eksekusi putusan yang macet dan tidak pasti, dan proses beracara yang berbelit-belit memakan waktu dan biaya yang banyak. Semua itu jelas merupakan indikator adanya ketidaksesuaian antara prinsip dan pelaksanaan, serta dapat dinilai kinerja lembaga kekuasaan kehakiman tidak seperti apa yang diinginkan masyarakat.

        Banyak penyebab kemerosotan kualitas peradilan ini. Salah satunya karena pengaruh kepentingan pihak lain yang berupa aksi-aksi korup kong-kalikong antara pihak di lembaga peradilan dengan pihak lain yang memiliki kepentingan. Hal ini menyebabkan kekuasaan kehakiman tidak merdeka sebagaimana sebuah kekuasaan kehakiman seharusnya. Bebas, merdeka dan bersih dari intervensi pihak lain merupakan elemen-elemen penting dan harus ada dalam setiap lembaga peradilan, agar membuat putusan yang objektif dan berdasarkan pada asas-asas hukum.

Dalam penerapan asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, bahwasanya asas tersebut tak lebih dari cita-cita kosong belaka. Melihat kasus-kasus yang timbul akibat ketidakkompetenan kekuasaan kehakiman menambah populasi masyarakat skeptis dan pesimis terhadap kemajuan penegakkan hukum negeri ini, terutama dalam hal yang berkenaan dengan asas ini.

        Contoh kasus seperti peradilan perkara supersemar dengan tergugat mantan presiden Soeharto, para ahli waris serta Yayasan Beasiswa Supersemar yang melakukan penyelewengan dana beasiswa. Kasus dengan penyelewengan dana yang fantastis yakni Rp 4,389 triliun yang telah diputus pada tahun 2010 ini kembali mencuat ke media lantaran terjadi kekeliruan dalam pengetikkan putusan, yakni uang yang diperkarakan dengan kelupaan memberikan 3 (tiga) angka nol (0). Di sini kita dapat menyaksikan, bahwa selain dari kurang telitinya kelembagaan ini, kasus ini tuntas dan terpecahkan memakan waktu bertahun-tahun lamanya. Pada tanggal 27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus Yayasan Supersemar bersalah dalam menyelewengkan dana. Sekarang, di tahun 2015 kasus ini baru bisa dituntaskan.

           Pada kasus supersemar tersebut juga dapat kita lihat kejanggalan lain. Rezim Soeharto telah runtuh sejak tahun 1998, namun kasus ini malah baru terbongkar dan diputus pada tahun 2008. Hal ini menunjukkan tahta kekuasaan sangat berpengaruh kepada perlakuan hukum, seolah tidak adanya persamaan di depan hukum.

Sekarang masuk kepada permasalahan asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Di dalam kewenangan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi, terdapat pengujian yang dinamakan uji materil dan uji formil. Uji materil merupakan examinasi substantif suatu undang-undang. Pengujiannya adalah mengenai materi undang-undang itu sendiri dan ide-ide yang terkandung di dalamnya yang berlawanan atau tidak sejalan dengan konstitusi. Sementara uji formil merupakan pengujian tata cara formal pembuatan undang-undang itu sendiri apakah sesuai dengan prosedurnya atau merupakan kompetensi dari lembaga yang bersangkutan yakni DPR atau Presiden.

Sebagai contoh kasus dalam pengujian formil, Mahfud MD pernah menolak uji formil mengenai Undang-Undang Mahkamah Agung dikala waktu itu ia sebagai ketua majelis sidang MK bersangkutan. Jika melihat dari kacamata akademis dan yuridis, bahwa formalitas dari proses realisasi Undang-Undang tersebut di DPR memang nyata-nyata bermasalah. Konsekuensi dari pengabulan permohonan uji formil ini adalah bahwa keseluruhan UU yang diujikan itu harus dicabut keberlakuannya. Dengan pertimbangan dan alasan asas kemanfaatan, permohonan uji formil ini ditolak. Di sini terjadi semacam tarik menarik penerapan asas, bahwa kepastian hukum mengkehendaki permohonan ini dikabulkan, sementara pertimbangan hakim lebih mengedepankan asas kemanfaatan.

Dalam pemahaman bahwa keadilan merupakan tujuan utama dari keberadaan hukum, bahwa suatu keadilan tidak akan tercapai jika tidak ada kepastian dalam penegakkan hukum. Kepastian hukum sebagai fase dalam menuju keadilan. Jika terlalu membidik keadilan, maka kepastian hukum tidak akan berjalan lancar, karena lamanya proses peradilan dalam pencarian suatu keadilan yang semata-mata bersifat relatif. Jika kita lebih mengedepankan kepastian hukum, prorses peradilan akan berjalan lancar, namun putusan yang diberikan belum tentu adil. Kemanfaatan atau manfaat timbul ketika putusan itu dieksekusi. Pengedepanan kepastian hukum juga berimbas pada asas kemanfaatan. Ketiga unsur ini saling melengkapi walaupun pada suatu titik akan terjadi tarik ulur penerapan asas dalam dunia praktisi hukum. Belum lagi jika dikaitkan dengan kenyataan di lapangan.

0 komentar:

Posting Komentar