oleh : Muhammad Arifo, anggota Biro Humas DPC PERMAHI Padang | Editor : Febrika Hade Putri

Praktik penjualan jasa seksual alias Prostitusi merupakan penyakit masyarakat yang tak kunjung sembuh hingga sekarang. Prostitusi terus berkembang dari masa ke masa, baik dari modus maupun cara bertransaksi yg dilakukan. Sekarang, Indonesia digemparkan dengan adanya praktik prostitusi secara online.

Prostitusi Online sangat erat kaitannya dengan pornografi. Prostitusi online berawal dari pornografi yang bertebaran di dunia maya. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya iklan – iklan pada website – website serta media sosial yang menyelipkan unsur – unsur pornografi, bahkan secara terang – terangan menampilkan dan menaruhnya di beranda – beranda pada media sosial. Tak hanya itu, bahkan ada media massa nasional elektronik yang menulis judul maupun konten didalam artikel ataupun beritanya dengan kalimat – kalimat yang menjurus pada pornografi.

Sengaja atau tidak disengaja, orang dewasa, remaja atau anak – anak akan melihat dan membaca hal – hal tak senonoh tersebut. Pasalnya, orang dewasa, kaum muda, baik itu remaja atau anak-anak di Indonesia menggunakan internet dan media sosial sebagai sarana untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi diantara mereka.

Tak terbantahkan, praktik Prostitusi secara online ini dilancarkan lewat media sosial populer seperti Facebook, Blackberry Messenger (BBM) ,dan media sosial lainnya. Para pengasuh Pekerja Seks Komersial (PSK) alias mucikari menjajalkan PSK-nya melalui media sosial tersebut. Sehingga, pria – pria hidung belang dapat memesan wanita – wanita penghibur tersebut hanya dengan berkirim pesan melalui aplikasi media sosial itu.

Lemahnya respon masyarakat terhadap praktik Prostitusi menyebabkan hal ini terus berkembang secara online di media sosial. Belum adanya regulasi hukum mengenai Prostitusi online menyebabkan para pihak yang terlibat dalam praktik prostitusi online ini sulit untuk ditangkap dan dituntut di depan pengadilan. Hal ini dikarenakan perkembangan aturan hukum tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat.

Undang - undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak bisa dijadikan pegangan untuk menuntut pelaku yang terlibat didalam praktik Prostitusi online. Saat ini, aturan hukum yang mungkin dapat digunakan untuk menjerat pelaku praktik prostitusi online adalah pasal 296 Buku II dan pasal 506 Buku III  Kitab Undang – undang Hukum Pidana (KUH Pidana). Adapun penjelasan mengenai Tindak Pidana tentang Prostitusi yang terdapat dalam Pasal 296 Buku II KUH Pidana tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”. Sedangkan, Pasal 506 Buku III KUH Pidana tentang Pelanggaran Ketertiban Umum, menyebutkan: “Barang siapa mengambil keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun”.

Pasal ini sebenarnya tidak menyebutkan Prostitusi online sebagai perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Namun, dapat dicermati bahwa pada dasarnya antara praktik Prostitusi online dengan praktik Prostitusi biasa (offline) perbedaannya hanyalah terletak pada sarana dagang dan transaksi yang dilakukan. Sedangkan, unsur utama dari praktik prostitusi online itu sama dengan unsur utama dari praktik Prostitusi biasa. Yangmana, Unsur utama dari praktik prostitusi itu adalah perbuatan yang menyebabkan dan memudahkan perbuatan cabul dilakukan oleh seseorang dengan orang lain yang menjadikan perbuatan tersebut sebagai mata pencaharian.

Melihat perkembangan Prostitusi online yang ada pada saat sekrang ini, semua pihak patut untuk memberikan perhatian serius terhadap permasalahan ini. Hal ini dikarenakan Prostitusi dapat merusak moral bangsa serta generasi muda Indonesia. Tak hanya itu, bahaya yang ditimbulkan juga menyebabkan meningkatnya Penularan Penyakit Menular seksual (PMS), atau bahkan HIV/AIDS.

Tentu, sudah menjadi tugas pokok kedepannya bagi wakil rakyat yang berwenang dalam pembuatan Undang – undang (legislator) untuk memuat ketentuan pidana mengenai Prostitusi Online dalam Rancangan Kitab Undang – undang Hukum Pidana nantinya. Sehingga, terdapat aturan hukum yang jelas bagi penegak hukum untuk menjerat para pelaku Prostitusi Online, baik itu PSK-nya, mucikari dan juga para penikmat layanan haram tersebut. Tak hanya itu, hakim juga diharapkan dapat bersikap tegas dalam memidana pelaku prostitusi online ini, meskipun pelakunya adalah pejabat negara sendiri. Orang tua juga harus berperan aktif dalam memantau dan menjaga anaknya agar terhindar dari praktik prostitusi tersebut.

Dari pemerintah, diharapakan dapat lebih berperan aktif dalam memberantas dan mencegah Prostitusi dan Pornografi ini. Pemerintah juga dapat secara rutin dan komprehensif mengamati dan memantau media sosial, webite – website, sehingga apa yang termuat di dalam media sosial dan website itu dapat termonitori. Apabila didapati media sosial dan website yang memuat pornografi dan juga melakukan praktik prostitusi online maka dengan tegas pemerintah dapat menghapus dan memblokir konten tersebut. Selain itu, pemerintah juga diharapakan dapat memenjarakan pelaku yang terlibat didalam praktik Prostitusi ini.

"TINDAKAN PERTAMA DI TEMPAT KEJADIAN PERKARA"
Senin, 18 Mei 2015 | 10.00 WIB
Program Kerja : Biro Humas | Dokumentasi oleh : Febrika Hade Putri
Polisi Republik Indonesia (POLRI) bertugas untuk melindungi masyarakat Indonesia. Salah satu bentuk perlindungan yang dilakukannya yaitu dengan cara menegakkan peraturan perundang-undangan di tengah masyarakat selain penegak hukum lainnya. Tak hanya itu, POLRI juga bertugas menerima pengaduan dari masyarakat terkait kejahatan yang ada di tengah masyarakat.

Ketika suatu peristiwa dilaporkan kepada pihak yang berwenang dalam hal ini POLRI, hal pertama yang harus dilakukan yaitu membuat laporan polisi. Berdasarkan laporan polisi yang dijadikan sebagai bukti permulaan, dilakukan penyelidikan terhadap peristiwa yang dilaporkan tersebut. Pada proses penyelidikan ini, maka akan dilihat apakah peristiwa yang dilaporkan merupakan tindak pidana atau bukan.

Pada saat penyelidikan telah selesai dilakukan oleh penyelidik, maka tahapan selanjutnya akan dilajutkan penyidikan, yaitu pengumpulan alat-alat bukti. Pengumpulan alat bukti ini bertujuan agar peristiwa pidana yang dilaporkan dapat dilajutkan ke Kejaksaan. Salah satu cara yang dilakukan untuk mengumpulkan alat bukti yaitu dengan mendatangi Tempat Kejadian Perkara (TKP).

Hal pertama yang harus dilakukan penyidik ketika sampai di TKP yaitu pemasangan police line. Setelah pemasangan police line, penyidik akan melanjutkan dengan pengambilan foto TKP, penyebaran anggota serse, pengumpulan barang-barang yang ada di TKP, pemeriksaan sidik jari, serta melakukan interogasi terhadap saksi-saksi yang berada di TKP. Hal ini bertujuan agar status quo dari peristiwa pidana yang telah terjadi menjadi terang.

Terhadap TKP yang berada di beberapa tempat, maka penyidik akan melakukan penyebaran terhadap seluruh lokasi yang memiliki hubungan dengan peristiwa pidana yang dilakukan. Dari beberapa tempat dilakukan pemeriksaan, maka penyidik akan menghubungkan setiap informasi yang didapat dari masing-masing tempat. Hal ini bertujuan, untuk menentukan locus dan tempus dari peristiwa pidana dan menemukan tersangka dari tindak pidana tersebut.

Tak hanya pemeriksaan TKP yang dilakukan, penyidik juga dapat melakukan upaya paksa berupa penangkapan dan penahanan terhadap seseorang yang disangka melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, yaitu minimal dua alat bukti. Penahanan yang dilakukan oleh penyidik berdasarkan pasal 21 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dapat dilakukan ketika adanya hal yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana.



Oleh : Romelio
Oleh : Suchi Purnama Sari | Editor : Febrika Hade Putri

Masih segar ingatan kita ketika Indonesia memutuskan untuk keluar dari Organization Petroleum Exsporter Country (OPEC) pada tahun 2008, yang kemudian ditegaskan oleh Meizar Rahman, Gubernur OPEC untuk Indonesia, status Indonesia bukanlah keluar dari anggota OPEC melainkan berstatus disuspensi. Hal ini berarti Indonesia dapat kembali menjadi anggota OPEC jika keadaan memungkinkan. Keinginan Indonesia untuk keluar dari OPEC diumumkan pada sidang OPEC di Wina, Austria, Selasa 9 September 2008. Namun, hasil konferensi memberlakukan status disuspensi, yangmana sebelumnya Indonesia telah dikirimi sepucuk surat tertanggal 17 Juni 2005 berisi agar Indonesia tidak keluar dari OPEC.

Alasan Indonesia keluar sebagaimana yang disampaikan oleh Meizar, bahwa posisi Indonesia sebagai importir, jelas beda kepentingan di sini, negara exportir pasti menginginkan harga minyak dunia naik, sedangkan negara importir menginginkan harga minyak dunia turun. Hal ini menyebabkan Indonesia tidak lagi cocok duduk berdampingan dengan negara yang berbeda kepentingan.

Pasca disuspensi dari OPEC , Wakil Presiden Jusuf Kalla pada menyatakan pada waktu itu bahwa ia akan fokus pada peningkatan produksi minyak dalam negeri mengingat produksi minyak yang terus menurun berdasarkan laporan bulanan OPEC edisi Mei 2008, yaitu dalam kisaran 876ribu bph (barel per hari) atau hanya 2,8% dari total produksi minyak OPEC yaitu 31,7 juta bph.

Tahun 2015 ini muncul keinginan pemerintah untuk kembali menjadi anggota OPEC. Tetapi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan kalau Indonesia hanya akan menjadi pengamat saja belum menjadi anggota aktif kembali.  Hal ini disebabkan karena untuk menjadi anggota Indonesia harus membayar iuran sebesar 2jt bph dimana Indonesia tidak menyanggupi untuk itu. Sedangkan, jika menjadi pengamat Indonesia akan diuntungkan dengan posisi tersebut karena Indonesia mampu dekat dengan negara-negara pengexpor minyak, yang pada perkembangannya saat ini minyak dunia terus turun, dikarenakan anggota OPEC tidak mengurangi angka produksinya.
Wacana indonesia untuk kembali aktif di OPEC adalah keputusan yang perlu didukung. Jika Indonesia kembali menjadi anggota aktif, Indonesia mampu mengontrol harga minyak dunia dan menyesuaikannya dengan pergerakan minyak dunia dalam negeri, karena selama Indonesia tidak aktif di OPEC, pergerakan minyak dalam negeri tetap tidak tinggi. Sedangkan, pengaruh kebijakan OPEC menentukan terhadap negara-negara importir, salah satunya adalah negara kita “ Indonesia” . 



Oleh :  Dini Dwi Putri

oleh : Mustika Arlin, anggota Biro Khusus DPC PERMAHI Padang
Oleh : Gita Aulia Putri | Editor: Febrika Hade Putri

Indonesia yang hidup bertamengkan sebagai negara hukum haruslah taat pada hukum yang ada, karena sudah jelas termaktub dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 bahwasanya negara Indonesia adalah negara hukum. Ini berarti bahwa  segala sesuatunya harus berlandaskan hukum yang sudah diatur sedemikian rupa.

Bicara mengenai hukum ada dua hal yang selalu terlintas yaitu hukum merupakan kepastian dan keadilan. Keduanya ibarat mata uang yang diharapkan bisa berjalan bergandengan. Tetapi, acapkali dalam praktiknya keadilan dianaktirikan oleh para penegak hukum, salah satu contohnya yaitu nepotisme dalam pembagian kekuasaan yang terjadi di Riau. Dimana dikarenakan hal tersebut seorang Gubernur Riau berkata kotor ketika ditanyakan mengenai terbentuknya dinasti baru di Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Riau.

Sudah menjadi rahasia umum hal seperti ini terjadi dalam masyarakat, dimana ketika seseorang menjabat di kursi pemerintahan maka otomatis secara sembunyi-sembunyi ia akan menaikan pangkat untuk sanak saudaranya. Kekuasaan seakan-akan menjadi batu loncatan dalam perolehan untuk kekuasaan selanjutnya. Jika mereka hanya memikirkan kekuasaan dan keluarganya lantas kapan lagi mereka peduli dalam visi dan misinya untuk kesejahteraan rakyat?

Dinasti poltik yang dirancang oleh Annas Maamun membuatnya merombak struktur pejabat ekselon di Pemprov Riau sebanyak lima kali dalam kurun waktu yang berdekatan. Dalam perombakan tersebut, ia memasukkan anak, menantu dan kerabatnya di beberapa posisi strategis. Berdasarkan tulisan yang dikutip dalam bertuah.com, anak kandung dari Annas Maamun yang berusia 27 tahun, Noor Charis Putra diangkat menjadi Kepala Seksi Jalan dan Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Riau. Sedangkan, menantunya Dwi Agus Sumarno, yang sebelumnya menjabat Kepala Institut Pemerintahan Dalam Negeri Rokan Hilir, diangkat menjadi Kepala Dinas Pendidikan Riau, serta menantunya yang lain, Maman Supryadi kini menjadi Manajer PSPS Pekanbaru. Tak lama kemudian disusul dua anak perempuannya. Fitriana, diangkat menjadi Kepala Seksi Mutasi dan Nonmutasi Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Riau sedangkan Winda Desrina dilantik menjadi Kepala Seksi Penerimaan UPT Dinas Pendapatan Daerah Riau. Beberapa kerabat dekatnya turut diboyong untuk mengisi beberapa kursi penting. Seperti saudara iparnya, Syaifuddin yang dijadikan Kepala Subbagian Tata Usaha Bagian Kas Daerah Biro Keuangan Setaprov Riau. Sekretaris Daerah Rokan Hilir Wan Amir Firdaus diangkat menjadi Asisten II Sekretariat Daerah Riau. Direktur RSUD Arifin Achmad tak luput dari incaran, dengan memberikan posisi tersebut pada Anwar.

Kenyataan ini merupakan suatu gambaran buruk dari seorang pemimpin dari negeri kita ini. Dengan alasan yang tidak diketahui pasti oleh rakyat menyebabkan timbulnya pemikiran akan perbuatan korupsi yang akan mereka lakukan secara berjamaah di dalam dinasti keluarga tersebut. Secara tidak langsung, mereka memaksa rakyat untuk berpikir demikian, dan berpikiran “kalau bukan itu lantas apalagi?”.

Inilah negeri elok tercinta yang sulit sekali lepas dari ketidakadilan. Pada saat sekarang ini, manusia bagaikan “human hominilupus” bahwasanya manusia itu serigala untuk manusia yang lainnya. Manusia selalu ingin manjadi yang nomor satu diantara yang lain tanpa peduli cara untuk mencapai tujuannya tersebut. Mereka selalu mencoba menghalalkan segala cara dalam mewujudkan nafsu jahatnya tanpa peduli siapa yang akan diterkam oleh taring ketidakadilannya.
Jika kita mencoba membahas mengenai perwujudan dari tujuan hukum itu sendiri, maka kita akan kembali pada kepastian dan keadilan hukum. Dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum itu sendiri, diperlukan suatu penegakan hukum yang akuntabel. Penegakan hukum yang akuntabel disini yaitu:

Pertama perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada. Sebagai contoh, perlunya tindak lanjut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah mengenai etika yang seharusnya menjadi patokan bagi seorang pemimpin di negeri tercinta ini. Apabila ia melanggar maka ada sanksi  tegas yang akan didapat tanpa melihat jabatan dan kedudukan seseorang tersebut.

Kedua, Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya. Tidak sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak terlalu paham  idealisme hukum yang sedang ditegakkannya. Ketika berbiacara mengenai moral, seorang pemimpin dalam berbicara haruslah ia berfikir terlebih dahulu terutama ketika berbicara di depan publik.

 Ketiga, dibentuknya suatu lembaga independen oleh Pemerintah dimana anggotanya terdiri dari masyarakat luas yang cerdas (non Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif). Lembaga ini kemudian akan bertugas mengawasi proses penegakan hukum (law enforcement) yang ada. Selain itu, mereka juga berwenang merekomendasikan akan sanksi yang diberikan bagi para penegak hukum yang melanggar moralitas hukum dan/atau melanggar proses penegakan hukum. Penegakan hukum tak hanya tergantung pada aturan-aturan tertulis yang ada tetapi juga pada kebiasaan moral dan etika yang baik dalam masyarakat, karena sejatinya hukum itu berasal dari kebiasaan yang hidup ditengah masyarakat dan kemudian diadopsi menjadi hukum tertulis untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, dilakukannya sosialisasi hukum dan peraturan perundang-undangan secara intensif  kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi atas asas hukum yang mengatakan “setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”, walaupun itu merupakan produk hukum yang baru diundangkan dalam Lembaran Negara. Dalam hal ini peran Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun lembaga sejenis sangat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri.

Kelima, membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat dimulai dan diprakarsai oleh para pemimpin itu sendiri atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi. Kemudian, komitmen tersebut dapat dicontoh dan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat terutama bagi mereka yang menjabat sebagai seorang pemimpin sehingga tidak akan muncul lagi kalimat “Tungkek Mambaok Rabah” , karena sejatinya seorang pemimpin adalah panutan oleh orang yang dipimpinnya .

Namun, usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa adanya dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (clean government), karena penegakan hukum (law enforcement) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara (lapuissance de executrice) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum (rechtsstaat). Di samping itu, rakyat harus mengetahui kriteria/ukuran dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Hal ini bertujuan agar adanya budaya kontrol dari masyarakat terhadap apa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di Republik Mimpi.


oleh: Romelio 

oleh: Devia Anggreini Yeza | Editor: Desi Yulinda Sari

Kesuksesan merupakan pencapaian tertinggi semua orang, pencapaian itu dapat diraih melalui usaha sendiri maupun melaui perantara orang lain. Mendapatkan suatu kesuksesan bukanlah hal yang mudah, layaknya seperti membalikkan telapak tangan. Untuk mendapatkan suatu hal yang sulit diraih itu, kita harus mengeluarkan modal besar seperti bekerja keras, hingga melakukan apa yang mungkin mustahil bagi orang lain lakukan. Barangkali sampai melakukan hal yang tidak mungkin untuk kita lakukan dimata mereka. Tak jarang kita akan mendapatkan suatu sikap yang akan menjatuhkan, ataupun mendorong, semua hal tersebut harus kita terima dan dilalui dengan alur yang sudah kita tetapkan.

Bertanya untuk siapakah kesuksesan itu, pasti tidak akan jauh-jauh untuk memikirkannya. Ada satu kata yang akan selalu ada dalam benak kita, yaitu keluarga, terkhusus orang tua. Siapa sih yang tidak mengakui argumen itu, dan tidak ada juga yang akan menyangkal begitu keras terhadap satu kata nan bersifat sakral itu. Kita ketahui bahwa betapa banyaknya hal-hal yang telah mereka lakukan untuk kita, yang tak seorangpun dapat memberikannya kecuali orang tua kita sendiri. Hal yangat alami bukan, untuk menyanjung orang tua begitu tinggi nan tak tergapai, yang dapat kita ketahui betapa besarnya jasa mereka bagi kita, baik materil maupun non materil.

Lalu bagaimana dengan seseorang yang tidak dibekali dengan keberanian di dalam dirinya??

Logika sederhananya saja, mereka sudah pasti akan lebih kesulitan dalam mengembangkan hal-hal yang mereka minati guna mencapai strata kehidupan yang lebih baik. Namun, bukan berarti seseorang yang tidak memiliki keberanian dalam hidupnya tidak sukses, tetapi seseorang tersebut akan membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mendapatkan kesuksesan dari pada orang yang memiliki keberanian. Keberanian harus lebih besar dari pada ketakutan, sebab jika seseorang masih mengedepankan ketakutan untuk mengembangkan apa yang mereka miliki, maka orang tersebut akan menempuh kesulitan untuk mendapatkan peluang kesuksesan yang ia impikan selama ini.

Apapun alasannya setiap orang harus memiliki keberanian. Meskipun keberanian tidak sepenuhnya menjamin sebuah kesuksesan seseorang, tetapi kita harus melalui jalur maksimal dari sebuah usaha jika ingin memperoleh kesuksesan yang maksimal pula.

 Hal yang harus kita tanam sedari dini adalah sebuah kesuksesan tidak akan tercapai tanpa adanya suatu usaha dan tekat, serta tak lupa pula do’a yang kita haturkan kepada sang pencipta yang mengatur segala yang ada di dunia ini.

oleh: Biro Litbang | Editor: Desi Yulinda Sari

Masalah hukum yang terjadi saat ini tidak asing lagi untuk didengar oleh telinga masyarakat Indonesia. Masalah itu di mata masyarakat layaknya seperti air, yang pada hakekatnya segala sesuatu itu pasti berlalu, mengalir, dan pada akhirnya dibiarkan saja mengalir apa adanya. Persepsi itu terjadi disetiap sudut negeri ini, baik dalam skala kecil maupun besar. Namun ada yang aneh di Negeri ini, tampak seperti tak memilki aturan, tetapi pada kenyataan yang dapat ditemukan di dalam peraturan tertulis disebutkan bahwa Indonesia memiliki berbagai profesi hukum, seperti Jaksa, Advokat, Hakim, Notaris, dan lain-lain, yang merupakan pengaplikasian aturan-aturan yang ada di dalam peraturan tersebut.

Berpikir segala hal tentang profesi hukum sangat melelahkan, baik pembahasan dimulai dari perekrutan, wewenang maupun segala hal terkait profesi itu sendiri. Jika seperti itu apakah kita akan berdiam diri terhadap apapun yang dilakukan oleh penegak hukum tersebut? Hal itu tidak mungkin, akan jadi apa negeri ini jika masyarakatnya hanya memangku tangan tanpa ada respon apapun. Sebenarnya hal apa yang harus ada dalam diri penegak hukum ini dan hal apa yang lebih utama? Akhlak dan moralkah? Atau profesionalitas?

Berdasarkan kaca mata fakta yang terjadi saat ini, betapa indah dan intelektualnya segala ilmu yang dimilki para penyandang profesi hukum di tanah air yang kita cintai ini. Namun sangat disayangkan karena kenyataan itu hanya akan kita temukan dalam kategori teori saja, tidak untuk praktik di lapangan, sangat berbeda memang. Demi mendapatkan status pekerjaan yang maksimalkan mereka berlomba-lomba untuk memaksimalkan kinerjanya dan bersikap profesional, terkadang dari sisi inilah akan muncul berbagai polemik yang terjadi di berbagai badan penegak hukum. Demi mendapatkan jabatan maksimal mereka rela untuk mengenyampingkan akhlak dan moral. Begitulah kondisi yang terlihat, kondisi yang sangat miris namun tetap tidak ada perubahan meskipun sudah banyak pasang mata yang menangkap kondisi yang demikian itu.



by: Romelio