Bilik Kiri Para Pemimpin

Oleh : Gita Aulia Putri | Editor: Febrika Hade Putri

Indonesia yang hidup bertamengkan sebagai negara hukum haruslah taat pada hukum yang ada, karena sudah jelas termaktub dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945 bahwasanya negara Indonesia adalah negara hukum. Ini berarti bahwa  segala sesuatunya harus berlandaskan hukum yang sudah diatur sedemikian rupa.

Bicara mengenai hukum ada dua hal yang selalu terlintas yaitu hukum merupakan kepastian dan keadilan. Keduanya ibarat mata uang yang diharapkan bisa berjalan bergandengan. Tetapi, acapkali dalam praktiknya keadilan dianaktirikan oleh para penegak hukum, salah satu contohnya yaitu nepotisme dalam pembagian kekuasaan yang terjadi di Riau. Dimana dikarenakan hal tersebut seorang Gubernur Riau berkata kotor ketika ditanyakan mengenai terbentuknya dinasti baru di Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Riau.

Sudah menjadi rahasia umum hal seperti ini terjadi dalam masyarakat, dimana ketika seseorang menjabat di kursi pemerintahan maka otomatis secara sembunyi-sembunyi ia akan menaikan pangkat untuk sanak saudaranya. Kekuasaan seakan-akan menjadi batu loncatan dalam perolehan untuk kekuasaan selanjutnya. Jika mereka hanya memikirkan kekuasaan dan keluarganya lantas kapan lagi mereka peduli dalam visi dan misinya untuk kesejahteraan rakyat?

Dinasti poltik yang dirancang oleh Annas Maamun membuatnya merombak struktur pejabat ekselon di Pemprov Riau sebanyak lima kali dalam kurun waktu yang berdekatan. Dalam perombakan tersebut, ia memasukkan anak, menantu dan kerabatnya di beberapa posisi strategis. Berdasarkan tulisan yang dikutip dalam bertuah.com, anak kandung dari Annas Maamun yang berusia 27 tahun, Noor Charis Putra diangkat menjadi Kepala Seksi Jalan dan Bina Marga Dinas Pekerjaan Umum Riau. Sedangkan, menantunya Dwi Agus Sumarno, yang sebelumnya menjabat Kepala Institut Pemerintahan Dalam Negeri Rokan Hilir, diangkat menjadi Kepala Dinas Pendidikan Riau, serta menantunya yang lain, Maman Supryadi kini menjadi Manajer PSPS Pekanbaru. Tak lama kemudian disusul dua anak perempuannya. Fitriana, diangkat menjadi Kepala Seksi Mutasi dan Nonmutasi Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Riau sedangkan Winda Desrina dilantik menjadi Kepala Seksi Penerimaan UPT Dinas Pendapatan Daerah Riau. Beberapa kerabat dekatnya turut diboyong untuk mengisi beberapa kursi penting. Seperti saudara iparnya, Syaifuddin yang dijadikan Kepala Subbagian Tata Usaha Bagian Kas Daerah Biro Keuangan Setaprov Riau. Sekretaris Daerah Rokan Hilir Wan Amir Firdaus diangkat menjadi Asisten II Sekretariat Daerah Riau. Direktur RSUD Arifin Achmad tak luput dari incaran, dengan memberikan posisi tersebut pada Anwar.

Kenyataan ini merupakan suatu gambaran buruk dari seorang pemimpin dari negeri kita ini. Dengan alasan yang tidak diketahui pasti oleh rakyat menyebabkan timbulnya pemikiran akan perbuatan korupsi yang akan mereka lakukan secara berjamaah di dalam dinasti keluarga tersebut. Secara tidak langsung, mereka memaksa rakyat untuk berpikir demikian, dan berpikiran “kalau bukan itu lantas apalagi?”.

Inilah negeri elok tercinta yang sulit sekali lepas dari ketidakadilan. Pada saat sekarang ini, manusia bagaikan “human hominilupus” bahwasanya manusia itu serigala untuk manusia yang lainnya. Manusia selalu ingin manjadi yang nomor satu diantara yang lain tanpa peduli cara untuk mencapai tujuannya tersebut. Mereka selalu mencoba menghalalkan segala cara dalam mewujudkan nafsu jahatnya tanpa peduli siapa yang akan diterkam oleh taring ketidakadilannya.
Jika kita mencoba membahas mengenai perwujudan dari tujuan hukum itu sendiri, maka kita akan kembali pada kepastian dan keadilan hukum. Dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum itu sendiri, diperlukan suatu penegakan hukum yang akuntabel. Penegakan hukum yang akuntabel disini yaitu:

Pertama perlunya penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada. Sebagai contoh, perlunya tindak lanjut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah mengenai etika yang seharusnya menjadi patokan bagi seorang pemimpin di negeri tercinta ini. Apabila ia melanggar maka ada sanksi  tegas yang akan didapat tanpa melihat jabatan dan kedudukan seseorang tersebut.

Kedua, Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas dan intelektualitasnya. Tidak sedikit Penegak Hukum yang ada saat ini, tidak terlalu paham  idealisme hukum yang sedang ditegakkannya. Ketika berbiacara mengenai moral, seorang pemimpin dalam berbicara haruslah ia berfikir terlebih dahulu terutama ketika berbicara di depan publik.

 Ketiga, dibentuknya suatu lembaga independen oleh Pemerintah dimana anggotanya terdiri dari masyarakat luas yang cerdas (non Hakim aktif, Jaksa aktif dan Polisi aktif). Lembaga ini kemudian akan bertugas mengawasi proses penegakan hukum (law enforcement) yang ada. Selain itu, mereka juga berwenang merekomendasikan akan sanksi yang diberikan bagi para penegak hukum yang melanggar moralitas hukum dan/atau melanggar proses penegakan hukum. Penegakan hukum tak hanya tergantung pada aturan-aturan tertulis yang ada tetapi juga pada kebiasaan moral dan etika yang baik dalam masyarakat, karena sejatinya hukum itu berasal dari kebiasaan yang hidup ditengah masyarakat dan kemudian diadopsi menjadi hukum tertulis untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, dilakukannya sosialisasi hukum dan peraturan perundang-undangan secara intensif  kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi atas asas hukum yang mengatakan “setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”, walaupun itu merupakan produk hukum yang baru diundangkan dalam Lembaran Negara. Dalam hal ini peran Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun lembaga sejenis sangat benar-benar disosialisasikan dan dipatuhi oleh semua komponen yang ada di negeri ini demi tercapainya tujuan hukum itu sendiri.

Kelima, membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat dimulai dan diprakarsai oleh para pemimpin itu sendiri atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi. Kemudian, komitmen tersebut dapat dicontoh dan diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat terutama bagi mereka yang menjabat sebagai seorang pemimpin sehingga tidak akan muncul lagi kalimat “Tungkek Mambaok Rabah” , karena sejatinya seorang pemimpin adalah panutan oleh orang yang dipimpinnya .

Namun, usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa adanya dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (clean government), karena penegakan hukum (law enforcement) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara (lapuissance de executrice) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum (rechtsstaat). Di samping itu, rakyat harus mengetahui kriteria/ukuran dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Hal ini bertujuan agar adanya budaya kontrol dari masyarakat terhadap apa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di Republik Mimpi.

0 komentar:

Posting Komentar